Bawaslu Jatim Dorong Transformasi Pengawasan Pemilu Melalui Penguatan Kelembagaan
|
madiunkota.bawaslu.go.id, Surabaya – Ketua Bawaslu Kota Madiun Wahyu Sesar Tri Sulistyo Nugroho dan Kepala Sekretariat Bawaslu Kota Madiun Anung Wibowo hadir dalam kegiatan Puncak Penguatan Kelembagaan bersama Komisi II DPR RI yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Jawa Timur. Kegiatan yang mengusung tema “Meneguhkan Semangat Kepahlawanan dalam Penguatan Kelembagaan Bawaslu Jawa Timur untuk Demokrasi Bermartabat” dilaksanakan di JW Marriott Hotel Surabaya, Kamis (20/11/2025).
Ketua Bawaslu Jawa Timur, A. Warits, dalam sambutannya menyampaikan bahwa hingga saat ini terdapat 40 kegiatan penguatan kelembagaan yang telah terlaksana di Jawa Timur. Dua kegiatan dilaksanakan di tingkat Provinsi, sementara 38 lainnya berlangsung di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur.
“Penguatan kelembagaan ini bukan sekadar kegiatan formalitas atau seremonial, tetapi merupakan upaya berkelanjutan yang harus menjadi budaya kerja di seluruh jajaran Bawaslu,” tegas Warits.
Ia juga menambahkan bahwa dukungan dan komitmen dari Komisi II DPR RI memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan program tersebut.
“Dukungan ini menjadi energi sekaligus mandat bagi Bawaslu untuk terus berbenah dalam menjawab tantangan demokrasi yang semakin kompleks,” ungkapnya.
Program Penguatan Kelembagaan ini mencakup delapan bidang utama, diantaranya : Stabilitas Keuangan, Pelayanan Informasi Hukum dan PPID, Hubungan dan Eksistensi Kelembagaan, Pengelolaan Data, Literasi Demokrasi, Penataan Tata Kelola Internal, Modernisasi Birokrasi, dan Peningkatan Kinerja Kelembagaan
Pada kesempatan yang sama, Anggota KPU Jawa Timur Nur Salam turut memberikan perspektif kritis mengenai tantangan demokrasi saat ini. Ia membandingkan praktik demokrasi prosedural dengan demokrasi substantif yang seharusnya mencerminkan keadilan dan kesetaraan.
“Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur. Pemilu boleh berjalan sesuai tahapan, tetapi jika akses politik tidak setara dan birokrasi tidak netral, maka yang hadir bukan demokrasi substantif, melainkan formalitas,” ujarnya.
Nur Salam menyoroti realitas ketimpangan dalam kontestasi politik, mulai dari akses terhadap fasilitas negara hingga ruang publik yang belum bebas dari pengaruh patronase politik.
“Pemilih masih banyak yang menerima pesan kampanye bukan melalui ruang publik yang objektif, tetapi melalui jaringan patronase yang terikat kepentingan. Ini tantangan yang harus kita jawab bersama,” tambahnya.
Sebagai penguatan gagasan, ia menekankan bahwa reformasi demokrasi harus menyentuh aspek formal sekaligus kultural.
“Menguatkan lembaga seperti Bawaslu, KASN, atau DKPP itu penting, tetapi tidak cukup. Kita harus menyentuh budaya organisasi, norma sosial di akar rumput, hingga kebiasaan politik yang berjalan secara laten,” tutupnya.
Melalui kegiatan penguatan kelembagaan, diharapkan tercipta pemahaman komprehensif bahwa pemilu bukan hanya proses administrasi, tetapi ruang menjaga marwah demokrasi melalui keadilan substantif, integritas proses, dan profesionalitas penyelenggara.
Penulis: Ardo L. Ramadhan